SBMPTN 2018

Lazimnya anak kelas 3 SMA di seluruh Indonesia, aku juga bingung untuk menentukan ingin melanjutkan "kehidupan" di mana. Biasanya sih, anak SMA di seluruh Indonesia akan melanjutkan kuliah, dikarenakan mereka bukan anak SMK yang mempunyai keahlian untuk bekerja dan bisa langsung melamar pekerjaan. Bisa sih anak SMA untuk melamar pekerjaan, tapi mentok-mentok paling juga jadi kasir Indoapril atau jadi sales marketing. Atau yang lebih parah lagi jadi gelandangan karena diusir orangtuanya gara-gara ngga keterima di universitas negeri. Duh semoga ku jangan sampai begitu deh...

Nah, yang jadi masalah sekarang adalah, aku bukan orang yang mempunyai "bakat" untuk bekerja di bidang sales marketing. Yang dimaksud "bakat" di sini adalah kemampuan muka untuk bisa ganteng dan pede agar supaya produk yang ditawarkan bisa menarik minat pelanggan. Misalnya, produk yang dijual berupa alat pijat elektrik yang bisa geter-geter itu. Kalau aku yang jadi sales marketing, bisa-bisa calon pelanggan bukannya jadi tertarik buat beli alat pijat, malah tertarik buat nempelin alat pijat itu ke mukaku. Hasilnya? otot muka kendor deh.

Oleh karena itu, daripada mengambil risiko menghancurkan muka yang sebenernya juga udah hancur ini, aku memutuskan untuk ikut SBMPTN 2018. Apa itu SBMPTN 2018? Kepanjangannya adalah Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2018. Yah, secara singkat sih itu adalah tes tulis untuk masuk perguruan tinggi negeri yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.
Nah, jadi sistem tes-nya seperti ini, para siswa SMA yang sudah dinyatakan lulus untuk sekolahnya, mendaftarkan diri ke website SBMPTN 2018, tentukan ingin masuk kampus mana jurusan apa, tentukan ingin ditempatkan tes di kota mana. Aku mengambil jurusan Psikologi di Universitas Ngeri  Negeri Surabaya, dan menempatkan tes di Surabaya.
Kampretnya adalah, aku didesak oleh orangtuaku untuk segera daftar saat pendaftaran baru dibuka 18 April 2018. Walhasil, karena mungkin belum banyak pendaftar, aku yang menempatkan tes di Surabaya kebagian tes berbasis komputer di Universitas Airlangga. Tepatnya di Fakultas Kedokteran. Aku yang selama hidup belum pernah belah kodok sekalipun (yang katanya kalau masuk kedokteran harus belah kodok), langsung merasa minder harus masuk di salah satu kampus kedokteran terfavorit di Indonesia!
Dan yang lebih kampretnya lagi adalah, keempat kawanku, Adi, Indra, Tyo, Nabila yang kuajak barengan untuk tes di Surabaya, keempat-empatnya kebagian tempat di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. FYI, kampus UNAIR dan UINSA berjarak hampir 9km (barusan cek google). Artinya, kita harus cari penginapan yang berada di antara dua kampus tersebut, dan untungnya salah satu kawanku, Indra punya kenalan untuk memberi aku, Tyo, dan Adi tempat untuk bermalam, yaitu di kos dekat kampus ITS. Oh iya, kawanku yang satu lagi, Nabila ngga ikut menginap bersama kami, dia menginap di tempat lain karena dia cewe (mungkin).

H-1 tes, kami berangkat dari Stasiun Kertosono menuju Surabaya pada pukul 12.45. Sedikit ulasan, untuk KAI kelas ekonomi sekarang sudah nyaman. Ada AC, tempat duduk lumayan empuk, dan yang paling penting ngga ada gangguan dari penjual kopi dan pop mie. Yah, walaupun masih ada gangguan dari bocah nangis di gerbong kita, tapi ngga terlalu berpengaruh. Mungkin karena rewel susu di dotnya abis.
Oh iya, ada lagi cerita unik saat perjalanan kami menuju Surabaya tepatnya saat tiba di stasiun Jombang. Di kelas ekonomi, ada bagian tempat duduk untuk enam orang saling berhadapan, dan sebelahnya empat orang saling berhadapan. Nah, kami berlima kebagian tempat duduk untuk enam orang, yang di mana artinya ada satu tempat duduk kosong, tepatnya di sebelah kawanku, Indra. Saat kami sampai di stasiun Jombang, ada seorang cewe naik yang membuat kami tadinya bercanda cekikikan jadi agak diam. Cewenya cantik sih, sayang aku sudah berniat untuk belajar, bukan cari cewe, jadi ngga kuajak kenalan.

Kami sampai di Stasiun Wonokromo Surabaya sekitar pukul 15:22. Kami segera keluar dan menjauhi Wonokromo untuk mencari musholla. Setelah menjama' sholat, kami pun berjalan ke salah satu arah mata angin untuk mencari kendaraan menuju kampus masing-masing untuk melakukan survey lokasi. Keempat kawanku ditambah satu lagi kawanku yang kebetulan barengan saat naik kereta, menaikki angkutan umum untuk pergi ke UINSA. Sedangkan aku sangat bersyukur dengan ditemukannya internet bisa sendirian pergi ke UNAIR menggunakan jasa GO-JEK (atau Grab ya?).
Di Fakultas Kedokteran UNAIR aku menghabiskan sekitar 10 menit untuk celingak-celinguk jalan ngga jelas. Habis mau bagaimana lagi, aku ngga tau mau kenalan siapa, mau kenalan sama dosen, ntar dikira aku mahasiswa lagi gara-gara tampangku yang mirip tukang cimol. Untung setelah memberanikan diri bertanya pada informasi, aku menemukan tempat tesku buat besok. Kutelepon kawanku, Indra agar kita bertemu di ITS karena penginapan kami dekat sana.
Hampir lumutan aku menunggu Indra dkk. menyusulku di Masjid ITS. Sekitar satu jam kutunggu, sejak Maghrib sampai hampir Isya', mereka belum menunjukkan batang senangnya hidungnya.
Saat adzan Isya' berkumandang di Masjid ITS, dengan wajah tak bersalah mereka datang dengan mobil grabnya. Aku ala-ala cewe yang ngambek sama cowonya, memalingkan muka sok-sok ngga lihat. Eh pas mereka lihat, mereka malah ala-ala cowo yang senyum-senyum ngerayu cewenya, eh aku malah melambaikan tangan. Kok jadi cinta-cintaan Dilan versi homo gini ya... Lanjut...

Setelah kami selesai melaksakan kewajiban kami kepada Tuhan YME, kami dijemput oleh kakak dari Indra, Mas Syamsul. Mas Syamsul memberi kami tumpangan berupa sepeda motor untuk menuju kosan dia yang dekat sekali dengan ITS. Sayangnya, kami berempat berbadan besar, jadi kami 'dioper' sama Mas Syamsul, satu persatu dibonceng menuju kosan. Baik sekali Mas Syamsul. Pertama, Adi yang badannya agak lebih kecil dari aku, terus aku yang badannya mirip Hulk kena beri-beri sambil bawa tas milik Tyo dan Indra, terakhir Tyo dan Indra dibonceng bertiga, dasar pelanggar aturan. Alhamdulillah motor ngga ada masalah, yang jadi masalah adalah kosannya.

18 tahun hidup nyaman di rumah orangtua, kosan ternyata jauh dari apa yang kubayangkan. Di film-film yang menceritakan kehidupan mahasiswa, kosan diidentikkan dengan kamar yang sempit. Pada kenyataannya, kosan adalah suatu tempat dengan kamar yang sempit, pengap, panas, kamar mandi yang sempit, air yang keruh, dan parkiran yang sempit. Walhasil malam itu, kami susah tidur. Jam 9 malam, kami memutuskan untuk jalan-jalan keluar kosan untuk mencari makan. Walaupun kami berjalan kesana kemari dan tertawa jauh kami tidak menemukan makanan yang sreg di hati. Ah, ya sudahlah, kami putuskan saja untuk makan di warung pedagang nasi sambel.

Dapat dilihat wajahku memancarkan aura kelaparan

Suasana gang sempit Surabaya ternyata cukup menimbulkan culture shock buatku. Gang sempit dipenuhi pedagang, bau selokan, dan kendaraan yang berlalu-lalang cukup asing di panca inderaku. Untungnya, aku berhasil memejamkan mata sekitar jam 10 malam walau dengan keringat bercucuran akibat kosan yang panas. Ngga heran kenapa mahasiswa selalu diidentikkan dengan badan yang kurus, tidur sekalian olahraga boy!!!
Jam 1 pagi aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi, aku membangunkan Indra untuk mengajaknya mencari tempat untuk tiduran yang agak dingin. Memang kami menemukan tempatnya, yaitu di masjid depan kosan kami, tapi nyamuk Surabaya mencium darah makhluk hidup dari daerah Nganjuk dan dengan lahap memakan darah-darah kami. Menyerah, kami kembali ke kosan dan terjaga hingga subuh.

Adzan subuh berkumandang, tanda matahari tak lama lagi datang. Aku, Indra, dan Tyo segera menuju masjid untuk menunaikan kewajiban. Yang jadi masalah adalah, kami hanya tidur rata-rata tiga jam dan akan melaksanakan tes masuk perguruan tinggi hari ini dengan kantuk. Kami pasrah sembari berdoa semoga masih sempat minum kopi. Hasilnya nol! Kami ngga sempat minum kopi karena ternyata setelah subuh, kawan-kawan kembali tertidur dan bangun jam 6. Sementara tes kami dimulai jam 9.45. Tak banyak bicara, kami bergegas menuju kamar mandi yang sempit dengan air yang keruh itu untuk membersihkan diri. Ya, walaupun ngga nolong juga sih.
Namanya laki-laki, cukup setengah jam kami mandi, kami langsung berangkat jam 7 menuju lokasi tes kami karena kami sangat takut akan macetnya Surabaya. Aku naik GO-JEK menuju FK UNAIR, sementara Indra, Tyo, Adi naik Grab menuju UINSA.

Sesampainya di FK UNAIR, aku langsung menuju lokasi tes yang kemarin ku-survey. Akan tetapi aku datang terlalu pagi, ternyata masih pukul 7.30 aku sampai di lokasi. Akhirnya aku duduk-duduk sembari menunggu anak SAINTEK selesai tes sesi pertama. FYI, tes SBMPTN 2018 dilaksanakan tiga sesi, sesi pertama soal SAINTEK berupa soal-soal IPA, sesi kedua soal dasar berupa sejenis tes IQ, bahasa, dan matematika, sesi ketiga soal SOSHUM yang berupa ilmu-ilmu sosial. Aku mengambil program jurusan Psikologi yang artinya aku cukup mengikuti sesi kedua dan ketiga saja.
Saat aku menunggu di kursi dekat ruangan tes, ada bapak-bapak yang mengajakku berbicara panjang lebar. Entahlah, tak begitu tau apa yang dibicarakannya. Lazimnya bapak-bapak kalau ngga berbicara soal agama, soal politik, soal negara, ya soal guyonan mesum yang ngga lucu.

Pukul 9.00 aku sudah memasuki ruang tes dengan perasaan minder. Bagaimana tidak, rata-rata yang mengikuti tes di FK UNAIR ini adalah anak-anak keturunan oriental (bahasa kasarnya cina), ganteng-ganteng, cantik-cantik, dengan kemeja ala-ala western sepatu sneakers, dan iPhone keluaran terbaru. Selain itu mereka terlihat pintar, sementara aku dengan batik keluarga saat lebaran dan sepatu pantofel, terlihat konyol dan goblok (bukan terlihat lagi sih, emang udah goblok). Kami para peserta tes menunggu di ruang tunggu yang sunyi senyap, karena orang-orang ini sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku yang ngga mau kelihatan goblok, membuka ponsel dan cuma geser-geser menu. Ngga nolong. Masih kelihatan goblok.

Singkat cerita, setelah sesi pertama selesai sekitar jam 12 aku menuju musholla untuk melaksanakan sholat dhuhur. Aku meminta ampun kepada Tuhan. Karena soal tadi, terutama matematika udah berasa kaya' siksa kubur men! Sesi kedua berlangsung jam 1. Harap-harap cemas aku mengerjakan soal dengan tangan gemetar. Dan yang terjadi adalah... dari 50 soal, kukerjakan hanya 30. Karena di sistem penilaian SBMPTN tahun lalu, bila jawaban benar mendapat 4 poin, salah -1 poin, dan jawaban kosong 0 poin. Jadi daripada menebak jawaban dan salah, lebih baik kosong. Tapi, isu-isu SBMPTN 2018 berubah sistem penilaian yang katanya tidak ada sistem minus lagi membuatku dilema. Berdoa saja aku semoga yang kulakukan benar.

Penyiksaan selesai jam setengah tiga. Aku memutuskan untuk keluar kampus UNAIR dan berjalan entah kemana. Ku-chat kawan-kawanku yang tes di UINSA untuk meminta mereka menuju terminal, tetapi mereka tidak merespon. Akhirnya Tyo merespon dan bilang, "yaudah, kamu ke terminal aja dulu, ntar kita nyusul". Bergegaslah aku menuju Terminal Purabaya Bungurasih.
Bangsatnya kawan-kawanku ini, mereka baru berangkat saat aku sudah sampai di terminal sekitar jam 5 sore. Aku yang sudah kangen kasur, mem-bodoamatkan mereka dan langsung naik bus patas menuju Nganjuk.

Perjalanan yang melelahkan.

Keesokan harinya, kulihat WhatsApp Story kawan-kawanku ternyata sistem penilaian SBMPTN 2018 beneran diubah. Tidak ada nilai minus di SBMPTN 2018. Dan berita itu baru turun setelah SBMPTN 2018 selesai. Bangsat.

Comments

  1. ditunggu tulisan lainnya mbah😭 sangat menghibur

    ReplyDelete

Post a Comment